Djoko Pekik

by picky on Selasa, 09 Februari 2010


Lahir di Grobogan, Purwodadi, 2 Januari 1938.

Pendidikan: Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) 1958, juga bergabung dalam Sanggar Bumi Tarung.

Pameran tunggal: 1990 – “Rona Kehidupan” di Edwin’s Gallery, Jakarta / 1993 – Pameran Tunggal di Taman Budaya Surakarta / 1995 – Pameran Tunggal di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Bali / 1998 – Pameran “Indonesia 1998 : Berburu Celeng”, Bentara Budaya, Yogyakarta / 1999 – Pameran “Indonesia 1998 : Berburu Celeng”, Galeri Nasional, Jakarta dan Bentara Budaya, Yogyakarta.

Pameran bersama:
2001 – “Melik Nggendong Lali”, Bentara Budaya, Yogyakarta
2002 – “Urip Mampir Ngombe”, Bentara Budaya, Yogyakarta
2003 – “Borobudur Agitatif”, Langgeng Galeri, Magelang

Basoeki Abdulllah

by picky


Basuki Abdullah (Raden Basoeki Abdullah)
Lahir :
Surakarta, Jawa Tengah, 27 Januari 1915
Meninggal:
1993 Agama :
Katolik
Pendidikan :
-SD Katolik/HIS Pangudi Luhur, Solo (1930) -Bruder School Pangudi Luhur, Solo (1933) -Royal Academy of Fine Arts, Den Haag Negeri Belanda -The Hague 's-Gravenhage, Den Haag, Negeri Belanda -Free Academy of Fine Arts, Den Haag, Negeri Belanda.
Karir :
-Royal Court Artist Istana Raja Muangthai (1963- sekarang) -Dianugerahi Bintang Poporo sebagai Royal Court Artist oleh Raja Muangthai, Bhumibol Adulyadej -Pernah melukis kepala negara, antara lain, Marcos dan Imelda Marcos, Soekarno, Soeharto, Tanom Kittikachorn.

Kegemaran melukis dimulai Basuki sejak usia enam tahun. Suatu kali pria kelahiran Sriwedari, Solo, 27 Januari 1915, ini terbaring sakit, iseng menyontek lukisan Yesus Kristus. Sembari melukis, ia merasakan sakitnya berangsur sembuh. Lantas Basuki beralih dari muslim menjadi nasrani (Katolik).
Pada usia 34 tahun (1949), Basuki mengikuti lomba lukis potret diri Ratu Belanda Juliana. Lomba itu diikuti 81 pelukis dari berbagai penjuru dunia. Tetapi yang mampu menyelesaikan potret Ratu tepat waktu hanya 21 pelukis, termasuk Basuki. Ia bahkan tampil sebagai juara. Sejak itu, Basuki laris sebagai pelukis potret diri.

Basuki mengenal ayahnya, pelukis R. Abdullah Surjosubroto, hanya setelah berusia 15 tahun. Suatu kali, anak kedua dari lima bersaudara ini, menggambar seekor singa yang sedang menerkam. ''Masa melukis macan ketawa,'' canda sang ayah, putra tokoh pergerakan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Basuki merasa sakit hati dan terpecut oleh komentar sinis sang ayah. Berangkat dewasa, ia gemar melukis tokoh-tokoh pergerakan, antara lain Mahatma Gandhi. Basuki mulai mengembara tahun 1947. Mula-mula ia belajar melukis di Akademi Seni Lukis Negeri Belanda, kemudian Italia, dan Prancis. Dari 42 tahun bermukim di luar negeri, 20 tahun dihabiskannya di Negeri Belanda, dan 17 tahun di Muangthai. Basuki berhasil menyunting gadis Thai. Pulang ke Jakarta, ia membawa serta istri Thai-nya, diangkat Presiden Soekarno sebagai pelukis Istana Merdeka. Tahun 1961, ia diundang Raja Muangthai, Bhumibol Adulyadej, untuk melukis Raja dan istrinya, Ratu Sirikit, hingga ia menjadi pelukis istana di Bangkok. Dua tahun kemudian, ia menerima anugerah Bintang Poporo sebagai Seniman Istana Kerajaan.
Gayanya yang naturalis, mengejar kemiripan wajah dan bentuk, Basuki disukai kalangan atas. Berbagai negarawan dan istri mereka seperti berlomba minta dilukis Basuki: Presiden Soekarno, Sultan Brunei, Pangeran Philip dari Inggris, Pangeran Bernard dari Belanda, dan kaum jetset kaliber Nyonya Ratna Sari Dewi. Yang datang sendiri ke kediamannya, di perumahan Shangrila Indah, Jakarta, tidak kurang: Jenny Rachman, Eva Arnaz, bahkan Laksamana Sudomo.

Datang karena diundang ke Istana Mangkunegaran, Solo, di masa Revolusi, Basuki luput melukis Nona Siti Hartinah. Ia memilih model lain. Setelah Siti Hartinah menjadi Ibu Negara barulah Basuki berkesempatan melukisnya. ''Kok sekarang mau?'' goda Presiden Soeharto. Basuki berkelit, “Dulu 'kan zaman Orde Lama. Sekarang zaman Orde Baru, jadi saya terima,'' kata Basuki yang sudah melukis 300 potret diri.
Basuki telah tiga kali menikah sebelum bertemu dengan seorang gadis Thai, istri keempatnya. Tiga pernikahan pertamanya kandas. Kisah pertemuannya dengan gadis Thai dimulai dari juri lomba ratu kecantikan tahun 1967. Basuki terpesona pada seorang peserta kontes yang berkulit kuning dan lesung pipi. Gadis itu Nataya Nareerat, istri keempatnya yang terpaut 30 tahun. Mereka memiliki seorang putri yang diberi nama Sidawaty Bharany.

Dullah

by picky

Dullah

Lahir :

Solo, Jawa Tengah,

17 September 1919

Profesi :

Pelukis dan penulis

Karya Buku :

Lukisan-lukisan koleksi DR. Ir. Soekarno, Presiden RI, sebayak 4 jilid diterbitkan di RRC tahun 1956 dan 1961,

Ukiran-ukiran rakyat Indonesia koleksi DR. Ir. Soekarno Presiden RI, diterbitkan di RRC tahun 1961,

Karya dalam peperangan dan revolusi, diterbitkan di Indonesia tahun 1982.

Suatu hari di akhir tahun 1979, pelukis Affandi menjemur seorang muridnya di Pejeng, Bali, tatkala matahari menyengat. Murid yang sudah berusia 60 tahun itu, Dullah, tak berani membantah. Apalagi protes. Affandi lagi kerajingan membuat rekonstruksi poster besarnya di zaman perjuangan, berjudul Boeng Ajo Boeng, yang pernah dianggap sebagai poster perjuangan pertama yang dibuat orang disini.

Dullah dikenal sebagai seorang pelukis realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah) dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui sebagai guru melukisnya adalah dua orang pelukis kenamaan ; S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya.

Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas khas memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak dan penyusun buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak mengetengahkan tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.

Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar bahkan oleh Affandi dinilai sebagai karya satu-satunya di dunia.


Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak menjual lukisannya.

Baginya melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan.

Ia juga menulis sajak. Beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.

Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum seni lukis di Ceko.

Popo Iskandar

by picky on Rabu, 25 November 2009

Popo Iskandar
Garut, Jawa Barat,17 Desember 1927

Pendidikan :
Keimin Bunka Shidosho (Bandung),Fakultas Seni Rupa ITB (1958)

Karier :
Dosen Fakultas Seni Rupa ITB (1957-1961),Dosen IKIP Bandung(1961-1993)

Popo iskandar termasuk sederetan pelukis terkemuka yang setia pada kodratnya bekerja untuk melahirkan karya-karya seni lukis. Ia berpameran retrospektif di ruang pameran TIM pada tanggal 26 September s/d 1 Oktober ’1978.

Pameran ini merupakan suatu pertanggung-jawaban sang pelukis terhadap usahanya selama ini, selama 35 tahun, semacam berhenti sejenak sambil menengok dari masa panjang yang telah dilalui. Pameran ini menghidangkan karya-karyanya sejak tahun 1949 hingga tahun 1978, sejumlah 45 buah lukisan dan 30 sketsa, yang masih disimpan (sempat diselamatkan) atau yang dipinjam dari berbagai lembaga dan perorangan.

Penampilan semacam ini, senada dengan Pameran Affandi, tahun 1974 di tempat yang sama. Dalam pengantar pertanggung-jawaban itu Popo Iskandar menyatakan, “Ada dikatakan orang, bahwa seorang seniman seakan meraih dalam kegelapan. Seni adalah hasil pertumbuhan di mana si seniman sendiri tidak mengetahui sejak awal bagaimana hasil akhir karyanya. Akan tetapi justru karena seni adalah perkembangan, bukanlah dalam usahanya untuk mengenal dirinya sendiri secara menyeluruh ada baiknya untuk mengenal wajah -wajah dirinya di masa-masa yang lampau”.”

Seluruh uraian itu berusaha hendak menjelaskan tentang posisinya dan kesadarannya sebagai seniman pelukis. Sejak penghayatannya terhadap kehidupan –menelusuri lorong, pasar dan pelosok kota Bandung bersama Hendra, Angkama, Abas Alibasyah untuk menangkap kehidupan dan gerak kehidupan sehari-hari dalam tuangan seni lukisnya.

Menurut Popo Iskandar, seluruh proses kesenian berarti mata rantai dari keberhasilan dan kegagalan. Semacam melihat grafik kegiatan. Kegagalan demi kegagalan dirasakan akan menjadi perangsang penciptaan yang akan datang.

Srihadi Sudarsono

by picky

Srihadi Sudarsono, M.A

Solo, Jawa Tengah, 4 Desember 1931

Pendidikan :
Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung (1959),
Ohio State University, Amerika Serikat (1962)



Karier :
Tentara Pelajar di Solo(1945-1946),Pembuat Poster Perjuangan di Balai Penerangan TNI Divisi X di Solo (1946-1948),Anggota Tim Elemen Estetik gedung MPR-RI (1964-1966), Anggota Tim Indonesia di Expo-70 Osaka, Jepang (1969-1970),Ketua Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (1971-1973),Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta(1974-1977),

Meski lulus dari Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Bandung (kini ITB) tahun 1959, pergaulan Srihadi dengan cat dan warna tidak dimulai dari bangku sekolah. Pada umur 14 tahun di tahun 1945, ia bergabung dengan Tentara Pelajar (TP) di Solo. Setahun kemudian, di Balai Penerangan TNI Divisi X Solo ia membuat poster-poster perjuangan. Kemahirannya dimanfaatkan oleh pimpinan pasukan. Srihadi lebih banyak ditugasi membuat poster yang pada zaman itu tak kalah pentingnya dalam membakar semangat berjuang.

Ia dipindahkan ke Yogyakarta, hingga 1950. Sejak saat itu menetapkan langkahnya sebagai seorang pelukis. Karya-karyanya mulai bergantungan dalam berbagai pameran, tunggal, maupun bersama, di dalam atau luar negeri. Lukisan cat minyak Srihadi ditandai tarikan garis spontan dan kuat, serta sapuan bidang yang luas. Srihadi berusaha menuang suasana. Walau tetap bermula dari bentuk, ia sama sekali tidak formal.

Srihadi dilahirkan pada 4 Desember 1931 di Solo. Ia putra pemilik perusahaan batik yang cukup terkenal, Raden Soedarsono dan Soekatmijah. Menerima Anugerah Seni 1971 dari Pemerintah RI. Ikut dalam Tim Elemen Estetik Gedung MPR-RI periode 1964-1966 dan tim Indonesia ke EXPO-70 di Osaka, 1969-1970. Menerima Cultural Award dari Pemerintah Belanda 1977 dan menerima beasiswa rogram Fullbright, Amerika Serikat, 1979-1980. Pada tahuj 1978 diterimanya Hadiah Karya Seni Lukis Terbaik Biennale III Dewan Kesenian Jakarta.

Tahun 1997, suami dari Siti Farida Nawawi ini pernah mengatakan belum siap membuat buku yang memuat biografi serta pandangan dan pencariannya di dunia seni lukis. Ia merasa sebuah buku bisa menjadi batas penjelajahan dunia rupa seorang pelukis. lantaran hal itu, buku dalam dua edisi ini menghabiskan masa pengerjaan hampir 10 tahun. “Selain karena merasa belum siap, pas mulai dikerjakan Jean Couteau sakit dan harus dirawat di Perancis. Jadi tertunda terus,” tutur Srihadi. “Celakanya lagi, buku yang dicetak sebanyak 400 eksemplar untuk menyongsong peluncuran itu kurang sempurna. Jadi saya mesti hentikan dulu pencetakannya karena ada penurunan kualitas warna lukisan dari aslinya. Istilah orang percetakan, warnanya lari,” tambahnya.

Keputusannya itu menunjukkan Srihadi adalah orang yang sangat memperhatikan detail, bahkan cenderung perfeksionis. Ruang studionya terlihat sangat bersih dan rapi, nyaris tidak terdapat ceceran cat. “Saya tidak bisa bekerja kalau melihat banyak ceceran cat di lantai. Apa pun, usaha seseorang haruslah maksimal untuk mencapai kesempurnaan,” ujar Srihadi. Perjalanan kesenimanan Srihadi Soedarsono penuh kontroversi dari kacamata orang lain, Banyak yang menilai keputusannya untuk melanjutkan studi seni lukis di Fakultas Teknik Bandung Universitas Indonesia (sekarang ITB) tahun 1953, saat di Yogyakarta dirintis pendirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) oleh pelukis seperti Soedjojono, sebagai keberpihakan kepada ‘barat’.

Barli Sasmitawinata

by picky on Sabtu, 21 November 2009

Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung.

Barli lalu banyak belajar melukis alam benda dan dia adalah satu-satunya murid pribumi di studio tersebut. Di studio itu Barli banyak belajar mengenal persyaratan melukis.

Barli dilatih secara intensif melihat objek karena realistik masih sangat populer ketika itu. Pluimentz sang guru, pun selalu berkata, cara melihat seniman dan orang biasa harus berbeda. Orang biasa tidak mampu melihat aspek artistik sesuatu benda sebagaimana seniman.

Barli di kemudian hari belajar kepada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi Nobilo itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.

Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung”. Kelompok itu dibentuk berawal dari kekaguman yang sangat dari seorang Barli dan ketiga temannya terhadap Affandi. Hubungan di antara kelima anggota kelompok akhirnya terbentuk menjadi seperti saudara saja. Kalau melukis kemana-mana selalu bersama-sama. Termasuk kesempatan perjalanan Barli hingga ke Bali.

Barli di tahun 1948 pernah mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Barli menyebutkan sebuah cita-cita yakni ingin punya murid yang tidak saja pandai menggambar tetapi bisa hidup bersama dengan yang lain.

Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Beberapa di antara mantan mahasiswa dan murid itu terkadang ada yang mengabaikan Barli sebagai guru. Namun, yang membanggakan hati dia, tokoh semacam AD Pirous tetap mengakui Barli sebagai salah seorang guru.

Selain AD Pirous, ada pula beberapa muridnya yang kini dikenang sebagai pelukis yang berkarakter, seperti (almarhum) Huang Fong. Atau, Chusin Setiadikara yang tetap memelihara bekal seni realistiknya tetapi menempuh jalan sulit untuk membuatnya menjadi seni yang terus bisa bermakna di tengah percaturan berbagai gaya dan kecenderungan seni yang baru.

Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melangglang buana ke mancanegara. Yakni, ketika Barli diangkat menjadi ilustrator pada majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian dia berkesempatan belajar ke Perancis dan Belanda.

Kesempatan Barli studi sekaligus berkiprah di benua Eropa berawal di tahun 1950 tatklala dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Barli masih meneruskan studi di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956. Karena kiprah kepelukisannya yang sedemikian panjang, kritikus seni Jim Supangkat dalam bukunya “Titik Sambung” menempatkan Barli Sasmitawinata sebagai ’titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia: seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia.

Dijelaskan oleh Jim, di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai meneruskan perkembangan seni lukis masa kolonial. Tetapi di sisi lain Barli merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.

Pemerintah RI tampak sangat peduli atas perjalanan karir maestro seni lukis realistik Indonesia ini. Bertepatan dengan hari lahirnya pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk dipamerkan sebuah lukisan yang Barli selesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-83, berukuran lebih dari dua meter kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004.

Bahkan, PT Pos Indonesia turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada seniman besar kelahiran Bandung itu. Pos Indonesia khusus menerbitkan prangko yang bergambar reproduksi lukisan Potret Diri, sebuah lukisan terkenal yang Barli buat di tahun 1974.

Bersamaan perayaan ulang tahun ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah, istri kedua Barli setelah istri pertama meninggal dunia 11 Juli 1991, berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”. Barli pertamakali menikahi (almarhumah) Atikah Basari di Pager Ageung tahun 1946 pada saat masih berada di dalam pengungsian karena perang.

Pernikahan pertama itu dikaruniai dua orang anak bernama Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi. Barli lalu kembali menikah saat usia sudah 71 tahun, kali itu dengan Nakisbandiah yang masih tetap setia mendampingi hidupnya. Hasil pernikahan Nakisbandiah sebelumnya dengan (almarhum) D Mawardi dikaruniai empat orang putri, yaitu Kartini, Sartika, Mia Meutia (meninggal tahun 1977), dan Indira. Maka, secara keseluruhan keluarga Barli memiliki 15 cucu dan enam orang buyut.

Barli berperan cukup besar menularkan ilmu kepada murid-muridnya. Entah di kampusnya mengajar ITB Bandung maupun di sanggar seninya. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian belajar seni lukis ke Perancis hingga Belanda.

Di Eropa Barli memperoleh banyak prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi, untuk pelukis sangat melihat otot-otot yang ada di luar bukan otot yang di dalam. Pernah, selama dua tahun di Eropa Barli setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude (orang telanjang) saja, sesuatu yang tidak pernah dipersoalkan pantas atau tidak di sana sebab jika untuk kepentingan akademis hal itu dianggap biasa.

Barli menyebutkan, seseorang lulusan dari akademis menggambar orang seharusnya pasti bisa sebab penguasaan teknis akan merangsang inspirasi. Dia mencontohkan pengalaman saat belajar naik sepeda sulit sekali sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun saat sudah menguasai teknis bersepeda sesorang bisa terus mengayuh sambil pikiran bisa kemana-mana. Melukis pun demikian, jika sudah mengetahui teknisnya maka adalah pikiran dan perasaan pelukis yang jalan.

Walau pelukis realistik Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.

Barli menyebutkan pula, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya lagi, kalau melihat seorang kakek maka dia akan tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga pastilah dia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak bisa dilukiskan dengan abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia lebih bisa dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak.

Affandi

by picky

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.

Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?" demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di zaman teknologi yang sering diidentikkan zaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.

Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.